Kritik Sastra Terhadap Novel Trilogi Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi Berdasarkan Orientasi Mimetik


Trilogi Negeri 5 Menara merupakan karya dari penulis asal Nagari Bayur, Maninjau, Sumatra Barat, yaitu Ahmad Fuadi yang merupakan lulusan S-1 Hubungan Internasional - Universitas Padjajaran, Bandung dan S-2 di School of media and public affairs, George Washington University, USA. Novel Trilogi Negeri 5 Menara, diterbitkan secara bertahap. Pertama, yang diterbitkan adalah novel yang berjudul Negeri 5 Menara yang menjadi awal novel Trilogi karya Ahmad Fuadi, pada tahun 2009 – Gramedia, Jakarta. Selanjutnya, penulis yang juga berprofesi sebagai praktisi konservasi dan juga wartawan menerbitkan novel kedua dari Trilogi Negeri 5 Menara yang berjudul Ranah 3 Warna, yang terbit pada tahun 2011 – Gramedia, Jakarta. Selanjutnya, Ahmad Fuadi menerbitkan novel ketiga yang sekaligus menjadi penutup dari novel Triloginya yaitu berjudul Rantau 1 Muara.
Ketiga novel karya novelis asal minang yang pernah tinggal di Washington DC, London, Quebec, dan Singapura merupakan novel yang cukup popular sejak pertama kali diterbitkan. Dari ketiga novelnya tersebut menceritakan bagaimana perjuangan seorang pria yang bernama Alif Fikri dalam usahanya menggapai impiannya.Novel Triloginya menggambarkan perjuangan seorang anak dalam menempuh setiap jenjang pendidikan, mulai dari pesantren, mengikuti SNMPTN hingga masuk ke perkuliahan dan menjadi sarajana Hubungan Internasional – Universitas Padjajaran, Bandung. Selama proses perkuliahannya Alif berhasil mendapatkan kesempatan dalam pertukaran pelajar di Kanada selama satu tahun. Selepas itu, Alif kembali melanjutkan kuliahnya dan berhasil meraih gelar sarjana.Kemudian, Alif mencoba bekerja di berbagai bidang yang bisa digelutinya.Hingga pada akhirnya Alif dapat meraih beasiswa S-2 di Washington University, USA.
Dari ketiga novelnya, Ahmad Fuadi selaku penulis lebih dominan dalam menceritakan kehidupan nyata yang merupakan pengalaman pribadinya yang kemudian Ia tuangkan ke dalam bentuk karya sastra yang kini menjadi popular di kalangan masyarakat bahkan salah satu novel triloginya dijadikan sebagai bahan perkuliahan di California University, bukunya yang berjudul Negeri 5 Menara diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan berjudul “The Land Of Five Towers” dan masih beserta dengan kata kuncinya yang luar biasa yakni Man Jadda Wajada “He who gives his all will surely succed” atau dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa barang siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Oleh karena itu kami meberikan kritikan terhadap novel Trilogi karya Ahmad Fuadi berdasarkan orientasi mimetik.

Mimetik - Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani ‘mimesis’ yang berarti ‘meniru’ atau ‘tiruan' atau ‘perwujudan’. Secara umum mimetik dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang memandangkarya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dari dunia kehidupan nyata.Mimetik juga dapat diartikan sebagai suatu teori yang dalammetodenyamembentuksuatukaryasastra dengan didasarkan pada kenyataan kehidupan sosial yang dialami dan kemudian dikembangkan menjadi suatu karya sastra denganpenambahanskenario yangtimbuldaridayaimajinasi dan kreatifitas pengarang dalam kehidupan nyata tersebut.
Berdasarkan hakekat mimetik di atas, novel Trilogi karya Ahmad Fuadi yang begitu lekat dengan kehidupan nyata, jelas menunjukan keterkaitannya dengan kajian mimetik.Hal tersebut semakin terlihat jelas pada setiap susunan kaliamat yang termuat di setiap novelnya yang dengan jelas menggambarkan kehidupan nyata.Bahkan, Ahmad Fuadi sendiri mengungkapkan bahawa novel Trilogi Negeri 5 Menaranya merupakan kisah kehidupan sosok Ahmad Fuadi sendiri yang apada awalnya dimuat pada buku catatan atau yang sering dikenal sebagai buku diaryyang Ia tulis sejak usia 13 Tahun karena terinspirasi dari Ibunya yang juga gemar menulis setiap pengalam kedalam buku catatan.
Pada bagian awal cerita novel trilogi Negeri 5 Menara menceritakan bagaimana sosok Alif Fikri mulai merancang mimpinya dan mulai memasuki dunia pesantren di pondok madani yang berada di Jawa Timur.Cerita awal tersebut tertuang dalam novel Negeri 5 Menara yang merupakan Novel pertama dari Trilogi “Negeri 5 Menara”.
Negeri 5 Menara bercerita tentang kisah Alif yang lulus SMP dengan nilai terbaik. Setelah lulus dari SMP, Alif dan sahabatanya yang benama Randai bermimpi akan melanjutkan ke SMA di Bukit Tinggi kemudian melanjutkan kuliah di ITB, namun keinginan itu harus pupus karena Ibunya menginginkan Alif masuk pesantren. Pada awalnya Alif tidak mau menerima usulan Ibundanya, akan tetapi karena Alif mendapatkan nasehat akhirnya Ia menerima keputusan Ibundanya untuk masuk ke pesantren Madani yang ada di Ponorogo, Jawa timur.
aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambil mengguncang-guncang telapak tanganku, pak sikumbang, kepala sekolahku member selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di kabupaten agam.” (Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 5)
aku bahkan sudah berjanji dengan Randai, kawan dekatku di madrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke SMA. Alangkah bangganya kalau bisa bilang saya anak SMA Bukit Tinggi.” (Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 5)
“aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie….” (Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 8)
Sesuai dengan pernyataan di atas, jelas bahwa Ahmad Fuadi menceritakan bagaimana sosok Alif yang memiliki mimpi bersama dengan sahabatnya, kemudian mimpinya harus pupus, dan masuk ke pesantren Madani yang ada di Jawa Timur.
Hal tersebut jelas mencerminkan sosok Ahmad Fuadi yang juga merupakan lulusan Pesantren serta menjadi murid terpandai, Ahmad Fuadi juga merupakan penulis novel yang mengidolakan sosok B.J. Habibie dan berkinginan kuliah di ITB. Namun, karena permintaan dari Ibunya Ahmad Fuadi harus menerima kenyataan bahwa Ia harus merantau dan menuntut ilmu di pesantren. Sama halnya dengan tokoh Alif, Ahmad Fuadi juga memiliki cita-cita pergi ke Jerman seperti sosok B.J Habibie.
Selanjutnya, Ahmad Fuadi menceritakan bagaimana kehidupan seorang Alif Fikri di pesantren, yaitu pada hari pertama Alif banyak berkenalan dengan orang dari seluruh penjuru Indonesia. Diantaranya Baso dari Goa, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmaji dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan masih banyak lagi.
Selama tinggal di pesantren, Alif Fikri merasakan banyak hal yang lebih baik yang dapat dijadikan pembelajaran yang luar biasa dalam kehidupannya. Misalnya saja, Alif merasakan bahwa pondok Madani adalah suatu sekolah yang luar biasa dengan tingkat disiplin yang tinggi, selain itu di Pondok Madani terdapat guru-guru yang sangat luarbiasa yang dapat membuka cakrawala muridnya, seperti Ustadz Salman denagn kata-kata mutiara dari cuplikan kehidupan tokoh-tokoh di dunia, sera pelajaran bahasa arab.
Man Jadda Wajada”(Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 40)
Dan selama itu pula Alif Fikri memiliki persahabatan yang cukup hangat, dan biasa dikenal atau disebut dengan “Sahibul Menara” karena mereka seringkali berdiri di bawah menara sambil menunggu suara adzan.
“saking seringnya kami berkumpul di kaki menara, kawan-kawan lain menggelari kami dengan sahibul menara, orang yang punya menara.”(Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 94)
            Penggambaran tersebut amat sanagta jelas menyampaikan bagaimana kehidupan pesantren yang pernah dilalui oleh seorang Ahmad Fuadi yang digambarkan lewat tokoh Alif Fikri, dan isi novel tersebut juga memberikan nilai moral kepada para pembaca melalui satu kaliamat ajaib yang juga diterapkan dalam kehidupan seorang Ahmad Fuadi yakni “Man Jadda Wajada” artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Berikutnya pada akhir cerita novel Negeri 5 Menara Ahmad Fuadi menuliskan bagaimana anak pesantren mempersiapkan segala hal dalam menyambut datangnya Ujian Akhir.Selama persiapan Ujian Akhir, semua siswa kelas berada di aula, selama satu bulan siswa-siswa ini menempati aula sebagai tempat tinggal, kelas, dan tempat berdiskusi, karena guru-guru siap melayani jika ada pertanyaan.Hal tersebut dilaksanakan hingga hari ujian pun tiba, semua menyiapkan diri dengan sebaiknya hingga dua minggu lamanya. Hasil ujian diumumkan diaula, dan sahibul menara lulus dengan hasil yang memuaskan, dan pada hari perpisahan semuanya saling berpelukan dan mendoakan termasuk ustadz dan adik-adik kelas.
“hari ini semua orang memakai wajah suka cita. Ketegangan tentang hasil ujian telah reda.Tadi pagi semua nilai ujian diumumkan. Aku bersyukur sekali, hasil jerih payah belajar habis-habisan menghasilkan nilai yang baik….” (Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 219)
Dari hal tersebut, dapat diketahui bahwa sosok Alif Fikri yang berperan sebagai Ahmad Fuadi, menampilkan bagaimana proses seseorang dalam menempuh hal yang baik, dengan kerja kersa yang luar biasa yang dapat terjadi pada kehidupan orang lain, bahwa apapun akan terjadi dan tercapai jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh seperti pada kutipan yang menjadi ikon novel Negeri 5 Menara yakni “Man Jadda Wajada”.
Selain pada novel Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi yang pernah mendapat Award untuk belajar di Royal Holloway, University of London menceritakan pengalaman hidupnya pula pada novel kedua dari Trilogi Negeri 5 Menara yaitu Ranah 3 Warna yang diterbitkan pada tahun 2011.
Novel kedua ini, menceritakan tentang sosok Alif yang diragukan lingkungan sekitar untuk mauk perguruan tinggi meskipun lulus ujian dengan baik, hanya karena satu alasan yakni “lulusan pesantren” yang tak memiliki ijazah. Namun, sosok Alif tak pernah menyerah, ia tetap berdiri tegak pada mimpinya dengan cara menutup telingan terhadap semua perkataan yang melukai hatinya. Alif bertekad untuk dapat menggapai mimpinya dengan belajar serajin-rajinnya, dan juga dengan bantuan teman-teman yang bersimpati dengannya. Akhirnya, ia berhasil lulus ujian persamaan SMA melalui paket C meskipun dengan nilai yang dapat dibilang pas-pasan.
“Akhirnya ujian persamaan sebagai syarat ikut UMPTN datang juga, dilepas dengan doa dari amak dan ayah aku merasa siap maju ke medan perang.”(Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna, 2011: 13)
“… Alhamdulillah tidak ada merah, semuanya biru tapi bukan biru perkasa, nilai ku Cuma rata-rata 6,5.” (Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna, 2011: 13)
Hal tersebut jelas terjadi pada lingkungan pesantren yang ada di Indonesia, yakni bahwa sebagian besar pesantren di Indonesia blum sepenuhnya terkait dengan instansi atau lembaga pendidikan yang dapat memeberikan ijazah kepada setiap lulusannya. Sehingga bagi mereka yang merupakan lullusan pesantren harus mengikuti ujian persamaan sesuai dengan jenjang pendidikannya (SD/SMP/SMA).
Kemudian, setelah Alif Fikri berhasil mengikuti ujian persamaan sekolah yaitu berupa paket C, Alif fikri berusaha keras untuk dapat mengikuti UMPTN meskipun dengan nilai paket C yang pas-pasan, karena ia percaya terhadap mantra saktinya yang diperoleh saat belajar di pesantren madani yakni “Man Jadda Wajada”. Kemudian ia mendaftarkan diri menjadi peseerta UMPTN di UNPAD, dan dengan kerja keras serta doanya yang tak pernah henti akhirnya ia berhasil masuk menjadi mahasiswa Hubungan Internasional di UNPAD. Dan ia tak lupa memberikan kabar gembira tersebut kepada teman yang dekat dengannya yaitu para sahibul menara.
“Aku menahan napas dengan telunjuk gemetar menuruni kolom ke bawah 01577, 01579.Aku baca ulang agar yakin benar.Aku rogoh kartu ujian ku dan aku geser telunjukku ke sebelah kanan sejajar. Alif Fikri. Namaku terletak jelas disana.” (Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 30)
Dan tiba waktunya Alif pergi ke Bandung dan memulai kuliah. Sejak saat itu, ia tinggal bersama Randai dalam satu kamar kost. Ia berjanji sampai mendapat kost yang baru, baru ia akan tinggal di tempat yang lain. Alif memasuki masa yang baru menjadi mahasiswa.Alif harus melewati serangkaian ospek untuk bisa lebih mengenali kampus dan berkenalan dengan teman-temannya yang baru.
“hari pertama kuliah datang juga ditemani si hitam yang masih memancarkan sinar barunya dengan meyakinkan, aku berdiri di depan kampusku di pati ukur, bukan di depan jalan ganeca seperti yang dulu aku impikan…” (Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 46)
Cerita tersebut selaras dengan klehidupan nyata, yaitu pada dunia perkuliahan mengenaln istilah ospek bagi para mahasiswa baru untuk mengenal kampus dan mendapatkan teman baru. Juga Ahmad Fuadi menuliskan bagaiman kisah anak rantau yang harus menempuh pendidikan di kota orang lain, dan harus bertempat tinggal yang katanya bernama kost. Sama halnya dengan kehidupan para mahasiswa yang harus menempuh pendidikan di Universitas yang letaknya jauh dari tempat asal, mereka tentu harus bertempat tinggal secara terpisah dari keluarga dan menjadi anak rantau atau yang biasa dikenal sebagai anak kost.
Lanjut cerita, bahwa selama kuliah Alif mendapatkan banyak teman baru, misalnya wira, agam dan memet juga raisa. Selam ia melaksanakan perkuliahn, ia mulai aktif menulis. Hari kian cepat bergulir, hingga tak terasa Alif telah melewati satu semester masa perkuliahan.Ia merasa sangat senang saat ia tahu mendapatkan nilai hasil belajar yang cukup baik dan hasil tulisannya dimuat dalam majalah dinding kampus.
“memet berlari-lari menyongsongku yang baru mendaki halaman kampus yang berbukit-bukit. Ditangannya melambai-lambai sebuah majalah. Hai alif hebat sekali kamu yaa..tulisanmu masuk ke majalah kampus terbaru kita.”(Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 78)
“hampir setahun aku di Bandung, persahabatn dengan teman-teman baru di kampus sungguh menyenangkan. Aku tidak kesulitan dengan berbagaimacam matakuliah, dan Alhamdulillah nilaiku bagus...”(Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 83)
Kesedihan dalam kehidupan pasti ada.Kalimat tersebut mungkin tepat menggambarkan perasaan hati seorang Alif.Ia yang baru saja merasakan kebahagiaan karena memperoleh nilai yang baik dan berhasil menerbitkan karyanya di majalah dinding kampus, harus merasakan bagaiamana sedihnya kehilangan seorang Ayah yang dicintai. Namun Alif tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, ia mencoba untuk menerima segalanya dengan lapang dada, kemudian ia hanya dapat berjanji akan melakukan apa saja yang diperintahkan oleh almarhum ayahnya. Seperti untuk tetap melanjutkan kuliah dan menjaga Ibu dan adik-adiknya.
“… ia berbisik lirih “alif waang bukan anak-anak lagi sudah jadi laki-laki. Karena itu jadilah laki-laki pembela adik-adik dan amakm” ayah melanjutkan, “selesaikan apa yang waang mulai, selesaikan sekolah.”(Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 94)
Melihat isi ceritanya, jelas bahwa Ahmad Fuadi menulis novel tersebut sesuai dengan apa yang dialami, apa yang dirasakan dan apa yang terjadi di lingkungannya. Hal tersebut terbukti bahwa seseorang yang berhasil mendapatkan nilai yang baik tentu merasa senang.Namun, Ahmad Fuadi tidak melebih-lebihkan rasa senang yang dirasakan oleh tokoh Alif. Begitupun saat Alif harus ditinggalkan oleh ayahnya, selaku penulis Ahmad Fuadi hanya menyertakan kata “kesedihan” dan tidak menambahkan dengan hal-hal lain yang munkin saja dalam imajinasi seseorang mebayangkan bagaimana tertekannya psikologi seorang anak saat ditingglkan ayahnya. Namun tidak demikian bagi Ahmad Fuadi. Dia hanya menuliskan sekedarnya saja mengenai apa yang dirasakan dan mencoba untuk bangkit dalam menjalani kehidupan kedepannya.
Alif semakin bersemangat menjalani hidupnya, impiannya sudah banyak yang terkabul. Kini ia punya mimpi yang besar yaitu mendapat beasiswa ke luar negeri. Dalam menjalani kuliahnya Alif mencoba mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika, bermodalkan niat dan tekad. Dan akhirnya ia lolos menjadi peserta yang mengikuti pertukaran pelajar di Kanada. Selain Alif, satu teman kampusnya juga ikut lolos ke dalam pertukaran pelajar tersebut.
Tiba waktunya Alif beserta peserta, dan segenap duta Indonesia pergi ke Kanada untuk melaksanakan misi pertukaran mahasiswa. Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif pun semakin berambisi untuk bisa mempersembahkan medali emas dan menunjukan kepada dunia bahwa ia bisa berprestasi. Bersama duta Indonesia yang lain di Kanada, Alif berhasil membawa nama Indonesia mereka sukses mempertunjukan kebolehan mereka dengan menampilakn tarian tradisional dan masakan khas Indonesia.
“Sehari menjelang keberangkatan ke Kanada, kami mengadakan malam perpisahan yang dihadiri oleh para pejabat…” (Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 225)
“menginjakan kaki di tarmac bandara di montrail ini menjadi sebuah sensasi”(Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 255)
Setelah melakukan pertukaran pelajar Alif kembali ke Indonesia untuk menyelesaikan kuliahnya yang sempat tertunda satu semester.
Dari penceritaan di atas, Ahmad Fuadi kembali tidak melebih-lebihkan ceritanya saat mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar di Kanada dan dalam menjalani kehidupan di Kanada. Ahmad Fuadi hanya menceritakan proses pembelajaran yang ia lakukan selam di Kanada, dan terlepas dari menceritakan secara rinci bagaiman Negara Kanada yang munkin banyak orang ingin berkunjung ke sana.

            Berikutnya Ahmad Fuadi melanjutkan penulisan novel Trilogi Negeri 5 Menara, dengan menerbitkan novel yang berjudul Rantai 1 Muara yang merupakan novel ketiga sekaligus menjadi penutup bagi novel Trilogi Negeri 5 Menara. Novel Rantau 1 Muara diterbitkan pada tahun 2013, selisih dua tahun setelah novel Ranah 3 Warna diterbitkan melalui Gramedia – Jakarta.
Cerita pada novel Rantau 1 Muara bermula pada saat Alif kembali ke Indonesia setelah mejalankan tugasnya dalam pertukaran pelajar di Kanada.Ia kembali menjalani aktifitas kuliahnya setelah tertinggal atau cuti satu semester.Ia juga kembali merasakan bagaimana tinggal di tempat kost yang tak jauh dari kampusnya.
Saat Alif kembali ke Bandung, dan memulai perkuliahannya kembali.Ia disambut hangat oleh teman-temannya, bahkan sosok Alif dapat menjadi motivasi bagi teman-temannya yang lain.
“… “Assalamualaikum, ketemu lagi kita” sapaku iseng keseisi kamar kost.” (Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 1)
“… aku baru ingat kalu aku belum mengurus pendaftaran kuliah selama di Kanada, kalau tidak diurus aku bisa dianggap cuti lagi satu semester…”(Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 5)
“begitu aku mendekat ke warung kang Maman, wira, agam, dan memet dari geng Uno memeluk dan mengguncang-guncang bahuku senang… “enaknya kamu lif, bisa jalan-jalan ke Kanada gratis. Beruntung banget.”…”(Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 8)
Hal tersebut jelas menggambarkan bahwa pada realitanya seseorang yang berilmu tentu akan disegani oleh banyak orang. Dan mengenai cerita Alif di Kanada jelas menggambarkan bagaimana sosok Ahmad Fuadi yang juga pernah mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar di Kanada.Oleh karenanya, jelas bahwa novel ketiga dari Trilogi Negeri 5 Menara merupakan cerminan seorang novelis yakni “Ahmad Fuadi”.
Setelah menyelesaikan satu semester yang tersisa akhirnya Alif dapat mengikuti proses Wisuda dan memperoleh Ijazah sebagai tanda bahwa ia telah berhasil menjadi sarjana.
“melegalisir Ijazah adalah kegiatan popular dikalangan kami yang baru di wisuda.” (Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 11)
Kutipan tersebut benar-benar menduplikat dari kisah nyata yang jelas-jelas bahwa sesorang yang melakukan prosesi wisuda tentu saja melakukan legalisir ijazah sebagai penanda bahwa Ia telah berhasil menyelesaikan perkuliahan.
Tak melulu menceritakan bagaimana sosok Alif Fikri menjalani kehidupan dalam meraih cita-citanya, Ahmad Fuadi selaku penulis Trilogi Negeri 5 Menara itu mencantumkan bagaimana runtuhnya order lama karena terjadi krismon “Krisis Moneter”. Saat Alif Fikri lulus dari Hubungan Internasional – Universitas Padjajaran Bandung, saat itu pula peruntuhan masa orde lama terjadi. Banyak mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besar di setiap daerah khusunya ibu kota. Bahkan tokoh Alif pun tak luput dari kerumunan mahasiswa yang melakukan demonstrasi besar-besaran di gedung sate.Hal itu pula yang menyebabkan Alif sulit menemukan pekerjaan. Meskipun Alif memiliki prestasi yang baik dan segudang pengalaman yang luar biasa, bahakan selama kuliah ia sudah mulai aktif mengirimkan karya tulisnya di salah satu surat kabar di Bandung, dan selalu berhasil dimuat dalam surat kabar yang terbit setip minggunya. Namun sangat disayngkan karena prestasi dan pengalaman Alif tak dapat bertindak lebih jauh kala krisis moneter melanda.Banyak lapangan pekerjaan yang gulung tikar.Jangankan untuk Alif dapat diterima bekerja sebagai pegawai tetap dalam suatu pekerjaan.Karya tulisnya yang biasa dimuat dalam surat kabar mingguan itu kini berhenti diterbitkan atau kasarnya yakni “ditolak” untuk diterbitkan. Karena perusahaan hanya akan menerbitkan karya tulis dari pegawai tetap dan tidak mengambil karya tulis dari luar. Hal tersebut terjadi karena krisis moneter yang terus melanda Indonesia dan beberapa Negara lainnya.
“Kosa kata krismon atau krisis moneter baru saja menjadi buah bibir sejak harga dolar melambung dan ikut mengatrol harga barang.”(Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 13)
“bagaimana para pencari kerja baru seperti aku dan teman-teman kuliahku?.”(Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 14)
“jadi lif karena ada penyusutan dalam surat kabar perusahaan kami, kami mohon pengertian mu. Untuk sementara kami tidak bisa memuat tulisan dari penulis luar….” (Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 17)
“Aku dan  geng Uno meski sudah lulus tetap ikut bergabung dengan demo mahasiswa sampai ke Gedung Sate.” (Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 19)
Jika dikaitkan kembali dengan hakekat mimetik menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan.
Jelas bahwa novel yang ditulis oleh Ahmad Fuadi merupakan tiruan yang berasal dari kehidupan pribadinya sendiri. Saat ia lulus, ia menjadi orang yang tak beruntung karena tak dapat memanfaatkan Ijazahnya serta prestasi dan pengalamannya yang luar biasa karena kurangnya lapangan pekerjaan akibat adanya krisis moneter, hal ini kian terbukti saat kita ketahui bahwa Ahmad Fuadi lulus dari Universitas Padjajaran pada tahun 1998/1999, tepat pada peristiwa krismon melanda Indonesia.
            Pengalaman yang di alami oleh Alif dapat dikatakan selalu saja mulus dan diberikan kemudahan oleh yang Maha Kuasa.Meski pada awal-awal pencarian kerjanya Alif ditolak oleh beberapa perusahan dimana Alif mendaftarkan dirinya sebagai calaon pekerja disana. Berkali-kali ia mencoba melamar pekerjaan diberbagai tempat, berkali-kali juga ia menerima penolakan.
Bukan Alif namanya jika menyerah begitu saja dalam setiap kekalahan, kalimat saktinya “man jadda wajada” selalu memacu dirinya untuk terus mengejar mimpinya dan menjadi orang yang bermanfaat di dunia.
Beberapa bulan kemudian, setelah Alif melamar dan selalu mendapatkan surat dari pos bahwa ia "tidak diterima” oleh perusahan dimana ia melamar. Alif pun bertemu dengan hari bersejarahnya, kata saktinya dalam novel yang ketiga ini yaitu “Man saara Ala Darbi Washalla” yang artinya siapa yang berjalan dijalannya akan sampai ketujuan, memberikan dorongan yang semakin kuat bagi Alif dalam menjalani kehidupannya yang tak mudah. Ia mencoba melamar di salah satu bidang percetakan majalah dan menjadi wartawan serta penulis berita yang sesuai dengan jalan yang dapat ditempuhnya, hingga pada akhirnya Alif pun diterima di perusahan majalah yang ada di Jakarta. Alif pun sangat bersyukur akan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT.
“… Anda mampu untuk bergabung bersama tim redaksi Derap. Selamat bergabung.”(Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 38)
Alif pun segera bersiap-siap membereskan barang-barangnya untuk pindah dari Bandung ke Jakarta.Ya, ini adalah tempat rantau yang baru bagi Alif. Di Jakarta Alif tinggal bersama pamannya selama Alif belum mendapatkan tempat kost di sana.
Hari-hari Alif kini mulai disibukan dengan pekerjaanya sebagai wartawan Derap. Kantor tempat Alif bekerja merupakan perusahaan yang pernah ditutup oleh pemerintah dalam masa orde lama karena isi-isi majalahnya yang selalu menyindir apa saja yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu. Tetapi saat ini perusahaan tersebut kembali beroperasi, namun masih banyak wartawan dan narasumber diluaran sana yang mempersulit proses pencarian berita dari tim Derap.
Alif kembali mendapatkan banyak pengalaman ditempat rantau barunya, bertemu seorang sahabat, memiliki program kerja yang unik yakni bekerja mengumpulkan berita dari kamar jenazah, hingga mewawancari seorang TNI yang pernah terlibat dalam pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Soeharto.Ditempat Rantaunya juga Alif dipertemukan kembali dengan tokoh Dinara (sahabat Raisa) yang dikenalnya saat persiapan pendaftaran mahasiswa dalam program beasiswa pertukaran pelajar ke Kanada.
selama bertemu ditempat kerja rupanya Alif dan Dinara muai jatuh cinta, keduanya sepakat untuk meresmikan hubungannya setelah berhasil memperoleh beasiswa S-2 ke luar negeri. Saat itu Alif yang lebih dulu mendapatkan beasiswa S-2 ke Amerika dan kekasihnya Dinara mendapatkan beasiswa S-2 di London.Setelah menyelesaikan program S-2 nya di Amerika, Alif memberanikan diri melamar Dinara kepada ayah Dinara.Ayah Dinara pun yang awalnya tak menyetujui kini mulai yakin kepada Alif bahwa Alif merupakan orang yang dapat bertanggung jawab kepada putrid tercintanya, Dinara.
            Dari cerita tersebut jelas bahwa Ahmad Fuadi menggambarkan bagimana keberhasilan seorang Alif dalam meraih cita-citanya setinggi yang dia inginkan.Dan mantra ketiga “Man Saara Ala Darbi Washalla” berhasil mengantarkan Alif meraih cita-cita hidupnya.Ahmad Fuadi yang juga merupakan seorang perantau, menerangkan melalui novelnya bahwa hidup hakikatnya adalah perantauan.Suatu masa pasti kembali ke akar, ke yang satu, ke yang awal, muara segala muara. Rantau 1 Muara ini juga merupakan kisah pencarian tempat berkarya, pencarian belahan jiwa, pencarian dimana hidup akan bermuara.
Ketika dikaitkan kembali antara isi cerita yang ada di dalam novel dengan kehidupan Ahmad Fuadi selaku penulis novelnya. Jelas bahwa segala apa yang tertuang di dalam novelnya merupakan cerminan, tiruan atau duplikasi dari kehidupan yang ada, kehidupan yang di alami oleh Ahmad Fuadi sendiri. Dalam realitanya Ahmad Fuadi adalah seorang penulis yang merupakan lulus Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1998/1999 program studi Hubungan Internasioal. Kemudian mendapatkan beasiswa S-2 di School of media and public Affairs, George Washington. University of USA, Amerika.
            Dari ketiga novelnya, Ahmad Fuadi sangat dominan menceritakan pengalaman hidupnya di dunia pesantren, kuliah di Universitas Padjajaran hingga meraih besiswa S-2 di Amerika.Novel Triloginya tersebut merupakan cerminan yang sebenarnya terjadi pada diri Ahmad Fuadi.Ahmad Fuadi sendiri mengakui dalam salah satu acara talkshow bahwa tokoh Alif Fikri merupakan gambaran bagaimana Ahmad Fuadi yang sebenarnya, bagaimana kehidupan Ahmad Fuadi yang tak mudah hingga berhasil menjadi penulis novel terkenal.
Sehingga jelas jika dikaitkan dengan kritik orientasi mimetik, novel yang memberikan banyak sekali nilai moral ini merupakan novel yang sepenuhnya ditulis berdasarkan pengalaman pengarang, atau merupakan cerminan dari kehidupan pengarang.
Novel ini banyak memberikan nilai moral kepada para pembacanya, khusunya kaum remaja yang dapat memetik segudang pelajaran yang dapat memotivasi diri untuk memiliki kerja keras yang luar biasa dalam meraih mimpi yang dicita-citakan.
Namun meskipun novel ini memberikan sejuta pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga, sayangnya novel tersebut seolah-olah terlepas dari pengaruh imajinatif dan kretifitas dalam membangun daya hayal dari seorang pengarang.Jelaslah bahwa kekurangan dari novel ini selaras dengan kekurangan yang terdapat dalam teori mimetik.
            Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra berkaitan dengan realitas atau kenyataan.Mimetik dalam bahasa yunani disebut tiruan. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas (Abrams, 1981:189).Hal ini diperkuat oleh pendapat Najid (2009:47) pendekatan mimetik adalah pendekatan yang memandang prosa fiksi sebagai hasil ciptaan manusia yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dan semesta (pengalaman hidup penulis atau hasil penghayatan penulis terhadap kehidupan disekitarnya). Dalam pendekatan ini, karya sastra merupakan hasil tiruan atau cermin dari kehidupan.
Namun sayangnya, teori mimetik yang ada ditentang oleh Aristotles yang berpendapat bahwa karya sastra bukan hanya semata-mata cerminan atau duplikasi dari kehidupan pengarang, tetapi juga menampilkan imajinasi dan kreatifitas dalam menuliskan karya sastra, sehingga karya sastra tersebut berhasil membawa pembacanya menikmati apa yang dituliskan oleh pengarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahawa Novel Trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi begitu sejalan dengan teori mimetik, dimana karya sastra merupakan hasil tiruan dari kenyataan begitu juga dengan novel Trilogi Karya Ahmad Fuadi yang merupakan cerminan pengalaman hidup sosok Ahmad Fuadi.
Dalam penulisan karya sastra hendaknya tidak terpaku pada pengalaman yang ada atau pengalaman yang dimiliki oelh pengarang saja.Akan tetapi agar karya sastra itu menjadi lebih indah, pengarang hendaknya memberikan polesan kepada karya sastra yang dibuatnya sehingga cerita yang ditampilkan tidak mengalir mudah begitu saja, tetapi juga mampu membangkitkan daya imajinasi pembaca dalam menikmati karya sastra.



Oleh :
Gita Indah Safitri
FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Wiralodra Indramayu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Berbicara

Sejarah Sastra Pada Masa Hindu - Budha

Sejarah Desa Kecamatan Indramayu - Kabupaten Indramayu