Kritik Sastra Bermuara dalam Ideologi Ahmad Fuadi Berdasarkan Pelaksanaan Induktif

Bermuara dalam Ideologi Ahmad Fuadi Berdasarkan Pelaksanaan Induktif

Bermuara. Itu yang dapat dipahami dalam novel “Rantau 1 Muara” yang dituliskan oleh Fuadi. Rantau 1 Muara adalah goresan pena ketiga dalam Trilogi milik Fuadi yang merupakan lulusan S-1 Hubungan Internasional - Universitas Padjajaran, Bandung dan S-2 di School of media and public affairs, George Washington University, USA, yakni “Negeri 5 Menara”.

Dalam Rantau 1 Muara yang diciptakan oleh penulis asal Nagari Bayur, Maninjau, Sumatra Barat, memberikan hakekat yang lebih luas tentang “Rantau” yang terlihat pada sampul depan bukunya. Fuadi mendefinisikan bahwa “Rantau” adalah pencarian. Pencarian terhadap hal-hal yang dibutuhkan. Oleh karena hal tersebut novel terbitan 2013 ini memiliki arti luas yakni pencarian tempat berkarya, pencarian belahan jiwa, dan pencarian dimana hidup akan bermuara.

Sub bab kedua dan kelimanya yang ber-title “Getar Pembawa Rezeki” dan “Surat di Depan Kardus” tepat bila dikatakan sebagai deskripsi dari pernyataan “pencarian tempat berkarya”. Hal tersebut berlandaskan isi yang memberikan kisah perjuangan Alif dalam membawa selembar kertas yang katanya penting didapatkan setelah berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan yang ditempuh, ke segala penjuru lowongan kerja. Katanya “percuma sekolah tinggi-tinggi kalau tidak bisa bekerja”. Namun, Fuadi menentang pernyataan tersebut melalui buah karyanya yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta.

Fuadi mendeskripsikan dengan lantang lewat coretan-coretannya yang berbalut sampul berwarna tosca bahwa siapa yang bersabar akan beruntung atau dikenal dengan istilah man shabara zhafira. Meskipun kalimat tersebut pertama kali ditemukan pada novel kedua dari trologi Negeri 5 Menara. Namun aplikasinya kian berlanjut hingga novel terakhir dari triloginya tersebut.

Barang siapa yang bersabar akan beruntung. Ya, kalimat ini lah yang menjadi dasar utama, menjadi dasar yang kuat bagi Fuadi dalam menentang pemikirang bahwa Ijazah yang diperoleh dari pendidikan akan percuma jika tak menghasilkan pekerjaan. Bagi Fuadi, ketika seseorang gagal dalam meraih suatu pekerjaan yang didambakannya, pekerjaan yang diharapkan sesuai dengan latar belankang yang menunjang. Maka hidup kita, Ijazah yang kita punya belum pada garis finish. Perjuangan hidup belum berakhir. Semangat juang belum padam. Kesempatan pun belum hilang.

Lebih lanjut Fuadi menjelaskan bahwa satu kegagalan haruslah dimaknai dengan sejuta rasa syukur kepada yang Maha Kuasa. Tergambar lewat tokoh Alif Fikri “si tokoh utama” dalam novel tersebut. Alif berkali-kali menelan pil pahit lantaran lamaran pekerjaannya selalu saja ditolak. Menjadi lulusan yang baik, pengalaman yang melimpah, hingga malang melintang ke segala penjuru secara cuma-cuma melintasi beasiswa, tak menjamin akan terhindar dari lika liku kehidupan, tetap saja Alif tak bisa dengan mudahnya memperoleh pekerjaan, hal ini terkutip dalam sub bab ketiga hingga sub bab kelima novel Rantau1 Muara (2013 : 11-26). Berkali-kali Alif melamar, sebanyak itu pula penolak yang datang padanya.

Jika bukan anak raja dan juga bukan anak ulama besar, maka menulislah. Kalimat yang mengutip pernyataan Al-Ghazali ini sangat tepat kiranya jika disandingkan dengan penceritaan tokoh Alif. Entah sudah berapa puluh kali Alif menerima surat penolakan dari perusahaan, maka setelah itulah Alif memutuskan untuk “Banting Setir” istilahnya. Dengan mengkolaborasikan kedua kalimat sakti yakni man shabara zhafira “barang siapa yang bersabar akan beruntung” dan man saara ala darbi washala “siapa yang berjalan dijalannya akan sampai ketujuan” maka berhasilah Fuadi menjadikan tokoh Alif sebagai orang yang beruntung telah berhasil memperoleh pekerjaan.
Itu lah jawaban dari pernyataan yang ditentang oleh Fuadi. Bahwa setiap kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, dan tak ada satupun pendidikan yang melibatkan pembelajaran menjadi sia-sia dan merugi.

Jauh ke dalam sub bab berikutnya, Fuadi menuliskan riwayat Alif yang terus bermetamorfosa menjadi lebih baik. Kesuksesannya bekerja sebagai penulis, kian berlanjut hingga menemukan belahan jiwa. Saat inilah pencarian belhan jiwa dilakukan. Dalam novelnya pada sub bab yang ke-27 “Bismillah, Bang” halaman 229 menampilkan sosok Alif yang berjuang keras untuk mendapatkan belahan jiwa yang dianggapnya sudah sepadan dengannya. Disinilah Alif mengayuhkan perahunya lebih kencang lagi, agar rencara bermuaranya dalam pencarian belahan jiwa berhasil.
Bertualanglah sejauh mata memandang.
Mengayuhlah sejauh lautan terbentang
Bergurulah sejauh alam terkembang.

Itulah yang terus diaplikasikan oleh Fuadi dalam tokoh Alif yang terus bermuara hingga mampu memperoleh apa yang dicarinya. Mampu memperoleh tempat berkarya, belahan jiwa, dan pencarian dimana hidup akan bermuara.
Melalui Rantau 1 Muara lah kita dapat bermuara, melakukan pencarian motivasi hidup, nilai moral, dan memperoleh sekaligus menetapkan misi hidup yang baik. Karena hakekatnya hidup adalah perantauan. Suatu masa akan kembali ke akar, ke yang satu, ke yang awal. Muara segala muara.
Bermuara dalam novel Rantau 1 Muara. Memetik hasil yang baik, dihidangkan dengan setumpuk nilai moral, segudang pengalaman,dan setingkat lebih maju dalam menetapkan prinsip kehidupan. Sama halnya dengan Fuadi “Dari wartawan ke novelis, dari Sumatra ke Amerika” itulah yang terus disinggung dalam karya ketiga Trilogi Negeri 5 Menara, Fuadi.

            Bermuara dalam ideologi Fuadi. Hal yang baik. Sejuta pelajaran diperoleh. Namun ideologi tentang dirinya sangat kental. Dalam penulisan karya-karyanya terutama pada Triloginya yang melibatkan Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara Fuadi seolah menghindar dari makna Novel yang merupakan karya sastra yang fiksi. Triloginya bagaikan Autobiografinya. Kisahan dalam novelnya seolah identitas kehidupannya.

Novel ialah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif dan biasanya ditulis dalam bentuk cerita. Hakekat novel inilah yang menimbulkan sejuta pertanyaan mengenai buah karya Fuadi. Fenomena yang hadir saat meninjau lebih lanjut novel Rantau 1 Muara adalah ketidakpastian mengenai istilah fiksi dan non-fiksi yang kiranya tepat melekat pada novel terbiatan 2013, Gramedia – Jakarta. Seperti yang telah diketahui bahwa novel Trilogi karya Fuadi menceritakan bagaimana perjuangan seorang pria yang bernama Alif Fikri dalam usahanya menggapai impiannya. Novel Triloginya menggambarkan perjuangan seorang anak dalam menempuh setiap jenjang pendidikan, mulai dari pesantren, mengikuti SNMPTN hingga masuk ke perkuliahan dan menjadi sarajana Hubungan Internasional – Universitas Padjajaran, Bandung. Selama proses perkuliahannya Alif berhasil mendapatkan kesempatan dalam pertukaran pelajar di Kanada selama satu tahun. Selepas itu, Alif kembali melanjutkan kuliahnya dan berhasil meraih gelar sarjana.Kemudian, Alif mencoba bekerja di berbagai bidang yang bisa digelutinya.Hingga pada akhirnya Alif dapat meraih beasiswa S-2 di Washington University, USA.

Dari ketiga novelnya, Fuadi lebih dominan dalam menceritakan kehidupan nyata yang merupakan pengalaman pribadinya yang kemudian Ia tuangkan ke dalam bentuk karya sastra yang kini menjadi popular di kalangan masyarakat bahkan salah satu novel triloginya dijadikan sebagai bahan perkuliahan di California University, bukunya yang berjudul Negeri 5 Menara diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan berjudul “The Land Of Five Towers” dan masih beserta dengan kata kuncinya yang luar biasa yakni Man Jadda Wajada “He who gives his all will surely succed” atau dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa barang siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Cerita yang tertuang dalam karyanya, sangatlah terlihat seperti duplikasi dari kehidupannya. Fuadi yang juga kelahiran Bayur, Maninjau, Sumatra Barat. Melakukan perantauan ke Jawa. Menempuh pendidikan di pondok Madani, menjadi mahasiswa Hubungan Internasioanl – Universitas Padjajaran Bandung, dan melaksanakan S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University, USA. Secara sederhana inilah yang menjadikan dasar bahwa tokoh Alif dalam novelnya merupakan duplikasi dari sosok Fuadi sendiri. Kisahannya. Istilah merantaunya. Alur ceritanya. Jika disandingkan dengan latar belakang sosok Fuadi tentu jelas tertulis kemiripan antara kehidupan Alif yang ada dalam novel dan kehidupan Fuadi yang sebenarnya.

Fenomena inilah yang dapat terlihat dalam pelaksanaan induktif. Bahwa hakekatnya novel merupakan karya sastra yang kategorinya adalah fiksi. Namun, Fuadi dalam menuliskan karya-karyanya bagaikan biografi dirinya. Ketidakpastian itu akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan dari seorang pembaca. Apakah trilogi : Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rnatau satu muara, merupakan novel? Jika novel, mengapa terlihat seolah-olah autobiografi yang ditulis oleh pengarang? Bukankah hakekatnya novel adalah jenis karya sastra yang fiksi? Dalam menanggapi fenomena yang demikian tentu memerlukan kepastian dari pengarang. Dengan kata lain, bahwa Fuadi perlu menambahkan polesan-polesan dalam wajah novelnya agar terlihat arahnya, apakah karya yang ditulisnya adalah karya yang fiksi ataukah non-fiksi.


Jika mengklaim bahwa karya yang ditulis merupakan karya yang fiksi, maka perlu kiranya dikaitkan kembali dalam teori. Bahwasannya novel bukanlah sepenuhnya jiplakan dari kenyataan, melainkan sebuah ungkapan atau perwujudan menegenai universalia atau konsep-konsep umum (Aristoteles, dalam Hartoko, 1984:17). Jelas bahwa apa yang dituliskan oleh Fuadi jika berupa karya fiksi yakni novel, hendaknya tak hanya menuangkan ideologi berdasarkan riwayat hidupnya saja, tetapi melibatkan suatu ungkapan atas hal-hal umum yang ada disekitarnya. Bukan berarti tak dapat menuangkan riwayat hidupnya dalam alur cerita yang dibuat, hanya saja kita tahu bahwa terciptanya karya sastra karena unsure intrinsik dan ekstrinsik, juga tak hanya melibatkan ideologi yang menduplikasi langsung dari pengarang tetapi melibatkan pula apa yang diperoleh oleh imaji yang berasal dari lingkungan sekitarnya, bahkan dapat melibatkan ide yang tak logis dalam peristiwa nyata. Hal ini diperlukan dalam penciptaan suatu karya sastra, khusunya novel guna mempertegas bahwa karyanya yang berwujud novel adalah karya yang fiksi dan bukan sepenuhnya Autobiografi : non-fiksi.

oleh :
Gita Indah Safitri
FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Wiralodra Indramayu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Berbicara

Sejarah Sastra Pada Masa Hindu - Budha

Sejarah Desa Kecamatan Indramayu - Kabupaten Indramayu